Salah satu budaya yang akrab di kalangan orang Nahdlatul Ulama (NU) dan sering dipraktekan oleh Santri termasuk Pemuda Ansor adalah mencium tangan orang yang dihormati. Bisa dilakukan oleh anak kepada orang tua, murid kepada guru, santri kepada kiainya atau habib, yang muda kepada yang lebih tua, dan sebagainya. Mencium tangan tersebut sebagai tanda penghormatan dan cinta kepada mereka.
Dalam sebuah hadist dijelaskan: “Dari Zari’ RA: ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku ‘Abdil Qais- beliau berkata,”Kemudian kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi Muhammad SAW.” (Sunan Abi Dawud/4548).
Atas dasar hadist ini, para ulama mensunahkan mencium tangan guru, ulama, orang shalih serta orang-orang yang kita hormati.
Kata Imam Nawawi dalam salah satu kitab karangannya: “ Disunnahkan mencium tangan orang-orang shalih dan ulama yang utama. Namun mencium tangan selain orang-orang itu hukumnya makruh.” (Fatwa al-Imam al Nawawi, 79).
Di kalangan pesantren, seorang santri mencium tangan kiai adalah hal yang sangat lumrah, bahkan dianjurkan.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa mencium tangan seorang kiai tidaklah bermaksud mengkultuskannya, namun sekedar karena menghormati kealiman, kezuhudan, dan kewara’annya. Sama halnya tatakala seorang anak mencium tangan kedua orang tuanya sebagai tanda bakti dan rasa hormat.
Pada umummnya bagian yang dicium adalah sisi luar (punggung) tangan. Namun bagi mereka yang lebih fanatik akan mencium dua sisi, yaitu sisi luar dan dalam. Caranya dengan di balik. Setelah luar baru kemudian sisi dalam.
Setelah mencium tangan, tanda sikap hormat biasanya dilanjutkan dalam cara berkomunikasi. Ungkapan disampaikan dengan bahasa halus dan sopan. Mereka yang berpoisisi lebih rendah menggunakan bahasa kromo inggil (bahasa paling sopan dalam tradisi Jawa) dan bersuara lebih rendah kepada mereka yang lebih tinggi. Mereka juga menjatuhkan pandangan (tidak metap mata secara langsug) saat bicara. Semua itu dalam rangka penghormatan dan tabarukan (mengharap berkah terhadap mereka yang dihormati).
Namun kadang ada juga kiai yang saat berjabat tangan langsung ditarik dengan cepat. Maknannya, ia tidak mau tangannya dicium orang lain karena merasa belum layak. Disinilah akan terlihat ketawadlu’an kiai. Meski orang lain sudah memandang layak dan perlu dihormati namun malah merasa belum layak dihormati.
Nabi mencium tangan tukang batu
Berkaitan dengan tradisi cium tangan, pernah terdapat satu kisah pada masa Rasulullah SAW yang mencium tangan seorang tukang batu.
Diriwayatkan pada saat itu Rasulullah SAW baru tiba dari Tabuk, peperangan dengan bangsa Romawi yang kerap menebar ancaman pada kaum muslimin. Banyak sahabat yang ikut beserta Nabi dalam peperangan ini. Tidak ada yang tertinggal kecuali orang-orang yang berhalangan dan adaudzur.
Saat mendekati kota Madinah, di salah satu sudut jalan, Rasulullah berjumpa dengan seorang tukang batu. Ketika itu Rasulullah melihat tangan buruh tukang batu tersebut melepuh, kulitnya merah kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari.
Sang Manusia Agung itupun bertanya, “Kenapa tanganmu kasar sekali?”
Si tukang batu menjawab, “Ya Rasulullah, pekerjaan saya ini membelah batu setiap hari, dan belahan batu itu saya jual ke pasar, lalu hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya. Karena itulah tangan saya kasar.”
Rasulullah adalah manusia paling mulia, tetapi orang yang paling mulia tersebut begitu melihat tangan si tukang batu yang kasar karena mencari nafkah yang halal, Rasulpun menggenggam tangan itu dan menciumnya seraya bersabda,
“Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada”, ‘inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya’. (DP dari sumber nulampung.or.id)
0 comments:
Post a Comment
silahkan berkomentar secara beradab dan sesuai dengan topik pembahasan