Ternyata benar tuduhan selama ini, Pemuda Ansor Kotamobagu adalah para pelaku Bid’ah.
Percaya atau tidak ikuti dan baca tulisan ini yang akan menyadarkan
kita semua. Pembaca yang budiman, Jangan lupa bacanya sambil ngopi ^^
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Tulisan ini akan dimulai dengan mengutip sebuah Hadis yang
diriwayatkan oleh Imam An-Nasai : Dari Jabir bin Abdullah ra, dari Nabi SAW
beliau berkata dalam khutbahnya : "Sungguh sebaik-baik perkataan adalah
Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan
seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan, setiap yang
diada-adakan adalah sesat, setiap kesesatan membimbing orang ke Neraka."
(Lihat Ahmad bin Syu'aib bin Ali khurasani, Sunan An-Nasai, Maktab
Al-Mathbu'at Al-Islamiyah, Aleppo, cet. kedua, tahun 1986M/1406H).
Dalam
riwayat Nasa’i dan Baihaqi ada tambahan redaksi وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ
فِي النَّار (dan setiap kesesatan tempatnya di neraka). Abu Dawud dan
Tirmidzi meriwayatkan hadis serupa: “Jauhilah perkara-perkara baru, sebab
sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat (HR. Abu Dawud No. 4607 Bâb luzûmis sunnah dan HR. Tirmidzi
No. 2678 Bâb mâ jâ’a fil akhdzi bis
sunnah wa-jtinâbil bida’i). Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis: “Man ahdatsa
fi amrina hâdza mâ laysa minhu fa huwa raddun” (Siapa saja yang
mengadakan perkara baru yang tidak ada dasarnya, maka dia tertolak).
Oleh sebagian kalangan, rangkaian hadis ini
dijadikan dalil untuk menyebut setiap perkara yang tidak dilakukan Rasulullah
sebagai bid’ah. Khitab-nya
bersifat ‘am, mutlak tanpa
pengecualian. Artinya, setiap perkara baru itu bid’ah, tanpa kecuali. Setiap
bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. Dasarnya adalah
redaksi yang digunakan Nabi, “kullu”
artinya setiap sesuatu, semuanya, tanpa kecuali. Hal-hal yang bersifat agama
dan ritual yang dilakukan tanpa contoh Nabi berarti bid’ah. Deretan amaliah
seperti muludan, tahlilan, barzanjian,
majelis salawatan, haul, dll
adalah munkar karena termasuk perkara baru tanpa preseden syar’i. Benarkah demikian? Mari kita
tinjau dari beberapa aspek.
secara etimologis, kata kullu di dalam
bahasa Arab tidak selalu berarti ‘ammuthlaq (semua, tanpa
kecuali). Kata kullu terkadang berarti‘am makhsûs(semua terkecuali).
Di dalam al-Qur’an, kata kullusebagai‘am muthlaq, misalnya, disebutkan dalam ayat-ayat “Allâhu khâliqu kulli sya’in wa huwa ‘alâ kulli sya’in wakîl” (QS. al-Zumar/24:
62); “Kullu sya’in hâlikun illâ wajhah” (QS. Al-Qasas/28: 88); “Kullu nafsin
dzâiqatul maut” (QS. Alu Imran/3:185). Di sini, kullu berarti semua. Sebaliknya, di dalam al-Qur’an, terdapat
kata kullu, tetapi berarti sebagian (sebagian besar atau sebagian
kecil) seperti dalam ayat “Wa ja’alnâ minal mâ’i kulla syain hay (QS. al-Anbiyâ’/17: 30): “Dan Kami jadikan dari air
segala sesuatu yang hidup.” Faktanya, kita tahu, tidak semua makhluk Tuhan
tercipta dan hidup dari air. Contohnya malaikat dan iblis, tercipta dari cahaya
dan api. Ada juga ayat “Innî wajadtum ra’atan
tamlikuhum wa ûtiyat min kulli syai’in wa lahâ ‘arsyun adzîm (an-Naml/27:
23): “Sungguh kudapati seorang perempuan yang merajai mereka, dianugerahi
segala sesuatu, dan baginya singgasana yang agung.” Faktanya, Ratu Balqis tidak
dianugerahi kekuasaan terhadapkerajaan Sulaiman. Kesimpulan, kata “kullu” tidak
selalu berarti semua tanpa kecuali (‘am muthlaq), tetapi juga
berarti sebagian (’am makhsûs).
Kembali kepada teks hadis awal, “kullu bid’atin dlalâlahwa kullu dlalâlatin fin nâr” berarti tidak semua bid’ah sesat. Hanya yang sesat yang masuk
neraka. Inilah mafhûm yang dinyatakan Imam Nawawi bahwa kulludalam hadis kullu bid’atin dlalâlah bukanlah ‘am muthlaq (semua tanpa kecuali), tetapi ‘am makhsus(semua terkecuali) (lihat Sahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî, Beirut: Dâr
al-Tsaqâfah al-Islâmiyyah, 1930, Juz 6, hal. 154).
secara subtansial, perkara apakah di dalam teks hadis “Man ahdatsa fi amrina
hâdza” yang dilarang untuk di-bid’ahi? Apakah semua perkara, semua
hal yang tidak dilakukan Rasulullah atau tidak ada pada zamannya dihukumi
bid’ah? Secara logika, pasti tidak mungkin. Rasulullah hidup dalam ruang dan
waktu,yang berbeda kurun dan budayanya dengan kita. Jika semua yang tidak
dilakukan Rasulullah disebut bid’ah, sebagian besar aktivitas manusia modern
adalah bid’ah. Hal-hal baik, seperti dakwah melalui TV, radio, internet,
aplikasi ponsel, alat pengeras suara imam shalat, semua adalah bid’ah. Perkara (amr, jamak umûr) di situ, menurut
Ibn Hajar al-Asqalani, maksudnya adalah perkara agama (amrud dîn), berupa pokok-pokok hukum syara’, mencakup perintah dan
larangan (Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul
Bâri, Beirut: Dâr Ihyâ’it Turâts al-Araby, 1977, Juz 7, hal. 231).
Dalam
hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, beliau membuat polarisasi
antara Bid’ah yang tercela menurut Syara’ dan Bid’ah yang tidak masuk kategori
sesat (Hasanah).
Perhatikan
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkanm Shahih Bukhari sebagai
berikut.
Artinya, “Ucapan Rasulullah SAW ‘Setiap bid‘ah itu sesat’ secara bahasa berbentuk umum, tapi maksudnya khusus seperti keterangan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, ‘Siapa saja yang mengada-ada di dalam urusan kami yang bukan bersumber darinya, maka tertolak’. Riwayat kuat menyebutkan Imam Syafi’i berkata, ‘Perkara yang diada-adakan terbagi dua. Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunah Rasul, pandangan sahabat, atau kesepakatan ulama, ini yang dimaksud bid‘ah sesat. Kedua, perkara baru yang baik-baik tetapi tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum tersebut, adalah bid‘ah yang tidak tercela,’” (Lihat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, Halaman 206). Imam Syafi’i dalam keterangan ini jelas membuat polarisasi antara bid‘ah yang tercela menurut syara’ dan bid‘ah yang tidak masuk kategori sesat.
Artinya, “Ucapan Rasulullah SAW ‘Setiap bid‘ah itu sesat’ secara bahasa berbentuk umum, tapi maksudnya khusus seperti keterangan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, ‘Siapa saja yang mengada-ada di dalam urusan kami yang bukan bersumber darinya, maka tertolak’. Riwayat kuat menyebutkan Imam Syafi’i berkata, ‘Perkara yang diada-adakan terbagi dua. Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunah Rasul, pandangan sahabat, atau kesepakatan ulama, ini yang dimaksud bid‘ah sesat. Kedua, perkara baru yang baik-baik tetapi tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum tersebut, adalah bid‘ah yang tidak tercela,’” (Lihat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, Halaman 206). Imam Syafi’i dalam keterangan ini jelas membuat polarisasi antara bid‘ah yang tercela menurut syara’ dan bid‘ah yang tidak masuk kategori sesat.
Sekarang apakah amaliyah Nahdlatul Ulama yang
sering dilakukan oleh GP Ansor termasuk kedalam bid’ah yang sesat ataukah Bid’ah
yang tidak tercela (Hasanah)? Tentu jika berdasarkan semua riwayat diatas
penulis kira tidak ada yang sesat dari amalaiyah yang dilakukan oleh GP Ansor
karena amaliyah NU yang dilakukan oleh GP Ansor adalah amaliyah baru yang baik
dan tidak bertentangan dengan sumber-sumber hokum dalam Islam. Kesimpulannya
adalah GP Ansor pengamal Bid’ah, tapi yang tidak tercela atau Hasanah. Jadi ini
membantah mereka yang mengatakan bahwa Bid’ah Hasanah itu tidak ada. Dan untuk
mereka yang menolak bid’ah hasanah ada baiknya hal ini dibicarakan baik-baik,
duduk semeja, sambil ngopi, tapi ingat kita diskusi bukan pacaran ^^
Download | Amaliyah NU dan dalilnya
0 comments:
Post a Comment
silahkan berkomentar secara beradab dan sesuai dengan topik pembahasan