Kaum Salafi Wahabi sangat terkenal
memiliki yel-yel: “Back To
Qur’an“, “Back To Sunnah” yang jika diartikan
“Kembali kepada al-Qur’an” dan “Kembali kepada Sunnah“. Mereka
mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Kita muslimin semua
tahu kenapa demikian? Karena, sebagai muslim sangat meyakini 100% tentunya
bahwa al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang utama yang diwariskan
oleh Rasulullah Saw, sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai
pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia
selamat dari kesesatan. Bukankah Rasulullah Saw. menyuruh yang sedemikian itu
kepada umatnya?
Sampai di sini, anda yang merasa
terpelajar mungkin bertanya-tanya dalam hati, “Bagaimana Ibnu Taimiyah atau
Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan ‘kebenaran yang edeal’ berdasar al
Qur’an dan al Sunnah masih dianggap sesat oleh para ulama di zamannya? Mengapa
pula paham Salafi Wahabi di zaman sekarang yang merujuk semua ajarannya kepada
al-Qur’an dan Sunnah juga dianggap menyimpang bahkan divonis sesat oleh para
Ulama?
Mari kita perhatikan permasalahan
ini secara komprehensif, agar terlihat “sumber masalah” yang ada pada sikap
yang terlihat sangat bagus dan ideal tersebut.
1.
Prinsip “Kembali kepada al- Qur’an
dan Sunnah” adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang
yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa yang
benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan
kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur’an & Sunnah sangat
berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur’an
atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang ‘alim yang menguasai Bahasa Arab dan
segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad, akan jauh
berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam yang
mengandalkan buku-buku “terjemah” al-Qur’an atau Sunnah.Itulah kenapa di zaman
ini banyak sekali bermunculan aliran sesat. Jawabnya tentu karena masing-
masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, dan mereka berupaya
mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri. Bisa dibayangkan dan
telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan
petinju yang merintis sholatdengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq
(mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai
bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin
(orang awam yang mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya. Dan kesesatan
mereka itu lahir dari sebab “Kembali kepada al- Qur’an dan Sunnah”, mereka
merasa benar dengan caranya sendiri. Pada kaum Salafi & Wahabi,
kesalahpahaman terhadap al- Qur’an dan Sunnah itu pun banyak terjadi, bahkan di
kalangan mereka sendiri pun terjadi perbedaan pemahaman terhadap dalil. Dan
yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil tentang bid’ah.
2.
Al-Qur’an dan Sunnah sudah dibahas
dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni
untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin
(ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa’ (ulama fiqih), ulama
aqidah ahus-sunnah wal- Jama’ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/ akhlaq).
Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan
kandungan al-Qur’an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud
kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar
itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai
“ahludz- dzikr”, yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara
turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini.Adalah
sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam
dengan cara “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” dilakukan tanpa merujuk
pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum
Salafi Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi Wahabi
sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan
mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai
pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah), hal ini seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abadke-8 H.) dan para pengikutnya.
Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab
yang dianggap sampahyang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8
hijriyah.Lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh, Ibnu Taimiyah
dan kaum Salafi Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa
ajaran ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman
mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendap at ulama salaf.
Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid
mereka? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada
murid- murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari
generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan? Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan
pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari
abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka
campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya
langsung dari para ulama salaf tersebut? Sungguh, ini bukan saja tidak
bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidakingin disebut kebodohan.
Jadi kaum Salafi Wahabibukan Cuma menggaungkan motto “kembali kepada al- Qur’an
dan Sunnah” secara langsung, tetapi juga “kembali kepada pendapat para ulama
salaf” secara langsung dengan cara dan pemahaman sendiri.Mereka bagaikan orang
yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan
bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan
air.
3.
Para ulama telah menghidangkan
penjelasan tentang al-Qur’an dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat
sebagai sebuah “hasiljadi”. Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan
kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau
penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat
agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur’an dan Sunnah yang
sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni
seperti yang dimiliki para ulama tersebut. Boleh dibilang, kemampuan yang
dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya,
terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa
hidup Rasulullah Saw & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum
lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang
shaleh, wara’ (kehati-hatian) , keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya.
Pendek kata, para ulama seakan- akan
telah menghidangkan “makanan siap saji” yang siap disantap oleh umat tanpa
repot- repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu
bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Saat kaum
Salafi & Wahabi mengajak umat untuk tidakmenikmati hidangan para ulama, dan
mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al- Qur’an dan Sunnah dengan
dalih pemurnian agama dari pencemaran “pendapat”manusia (ulama) yang tidak
memiliki otoritas untuk menetapkan syari’at, berarti sama saja dengan menyuruh
orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya
menanam padi. Seandainya tidak demikian, mereka mengelabui umat dengan cara
menyembunyikan figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah “mencemarkan
agama”, lalu menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi Wahabi
beserta karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil
pemahaman al-Qur’an dan Sunnah dari mereka saja dengan slogan “pemurnian
agama”.
Sesungguhnya, “pencemaran” yang
dilakukan para ulama yang shaleh dan ikhlas itu adalah upaya yang luar biasa
untuk melindungi umat dari kesesatan, sedangkan “pemurnian” yang dilakukan oleh
kaum Salafi Wahabi adalah penodaan terhadap ijtihad para ulama dan pencemaran terhadap
al-Qur’an dan Sunnah. Dan pencemaran terbesar yang dilakukan oleh kaum Salafi
Wahabi terhadap al-Qur’an dan Sunnah adalah saat mereka mengharamkan begitu
banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur’an dan Sunnah; saat mereka
menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang mereka vonis sebagai bid’ah
sesat atas nama Allah dan Rasulullah Saw., padahal Allah tidak pernah
menyebutkannya di dalam al-Qur’an dan Rasulullah Saw. tidak pernah
menyatakannya di dalam Sunnah (hadis)nya.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa
orang yang “Back To Qur’an“, “Back To Sunnah” –
“kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” – itu belum tentu dapat dianggap benar,
dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab tidak mengutarakan
pendapat menurut hawa nafsu mereka. Amat ironis bila karya-karya para ulama
yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Qur’an dan Sunnah itu dituduh oleh
kaum Salafi Wahabi sebagai kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada
dalil, sementara kaum Salafi Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami
dalil secara harfiyah (tekstual) dengan sombongnya menyatakan diri sebagai
orang yang paling sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Wallahu a’lam (ansorjatim.or.id)
0 comments:
Post a Comment
silahkan berkomentar secara beradab dan sesuai dengan topik pembahasan